Asalamualaikum ,  Selamat Datang  |  Its Not Diary  |  News And Opini  |  Thanks ?

Begitu banyak hal yang tertutupi dari negara kita sendiri bahkan dari konsep seluruh negara dan percayalah ada segelintir orang bahkan beberapa kelompok pemuja iblis yang mengatur konsep yang ada dan kita jalani saat ini.

Laporan untuk Kongres AS mengenai SBY dalam pemilu 2004

Amerika selalu menjatuhkan para penguasa yang sebelumnya mereka dukung. Ibarat pepatah, habis manis sepah dibuang.

Barangkali presiden seperti Susilo Bambang Yudhoyono tiada duanya di dunia ini. Hanya dia satu-satunya orang di luar Amerika, bukan warga Amerika dan bukan pula keturunan Amerika yang pernah berucap ‘’I love the United States with all its faults. I consider that its my second country.’’ Saya cinta Amerika Serikat dengan segala kesalahannya. Saya anggap Amerika Serikat negeri saya yang kedua, begitulah kira-kira terjemahannya. Ungkapan itu diucapkan SBY sebelum menjadi presiden ketika mengunjungi Amerika Serikat tahun 2003 lalu dan dimuat International Herald Tribune.

Sementara dukungan Amerika Serikat terhadap SBY baru terungkap saat Wikileaks membocorkan laporan untuk Kongres AS mengenai SBY dalam pemilu 2004. Dalam laporan itu, SBY dijuluki sebagai “the thinking general” atau “jenderal pemikir”. Di laporan itu pula disebutkan bahwa AS kurang setuju kalau Wiranto ataupun Megawati yang menang. Wiranto dianggap ancaman bagi kepentingan AS, sedangkan Megawati dianggap pemerintahannya korup. Dengan demikian, sangat jelas sekali bahwa AS mendukung SBY secara politik untuk memenangkan pemilu 2004.

Terbukti, dalam dua periode pemerintahannya, SBY bukan saja setia dalam menjalankan agenda neoliberalisme, tetapi juga sukses menjadikan Indonesia sebagai “negara boneka” imperialis AS yang paling loyal. Seluruh rakyat Indonesia mengetahui bagaimana perlakuan SBY ketika menyambut kehadiran dua Presiden AS saat berkunjung ke Indonesia, George W Bush dan Barack Obama. Bayangkan biaya sambutan kunjungan Bush ke Bogor yang hanya enam jam pada tahun 2006 menghabiskan biaya Rp. 6 milyar. Padahal, kata mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, bila kita yang ke AS tidak ada penyambutan mewah. JK bercerita, jangankan sambutan mewah, saat dirinya berkunjung ke AS tak ada liputan live di televisi. Muncul di koran hanya kolom kecil saja.

Sementara pengamat ekonomi politik dari Northwestern University, AS, Profesor Jeffrey Winters mengatakan bahwa SBY tak membuat AS pusing. Adalah fakta bahwa Amerika Serikat dan negara-negara Barat menyukai SBY karena selama berkuasa SBY tak pernah membuat pusing mereka dan memainkan agenda Barat dengan sangat baik.

“Saya rasa Amerika Serikat dan negara Barat senang pada SBY justru karena dia mediocre (rata-rata). Dia tidak membuat Amerika pusing dan dia itu good boy,” ujarnya Jeffrey.

Lihatlah bagaimana pemerintahan SBY terus memberikan konsesi pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia kepada perusahaan-perusahaan AS. Sebutlah misalnya tambang minyak bumi di Cepu yang diberikan kepada Exxon Mobil, tambang emas di NTB yang diberikan kepada Newmont, pengelolaan minyak dan gas yang diberikan kepada Chevron, hingga perusahaan ini bisa memproduksi sekitar 40 persen minyak mentah Indonesia. Demikian pula Freeport yang kontrak karyanya untuk menguras emas dan uranium di Papua terus diperpanjang. (selengkapnya lihat box)

Dalam agenda perang melawan terorisme (war against terrorism), SBY juga menjadi pengikut setia Amerika. Lihatlah bagaimana orang tua seperti Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang hingga kini terus mendapatkan perlakuan zalim. Bukan main tuduhan yang disangkakan kepada pengasuh Pondok Pesantren Ngruki itu. Amir Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) itu kini harus menjalani persidangan ‘rekayasa’ dengan tuduhan tuduhan menyetujui dan mendanai pelatihan militer di Aceh. Beliau juga dituduh melakukan provokasi untuk melakukan teror. Ancaman hukumannya adalah hukuman mati. Ustadz Abu sendiri melihat kezaliman yang sekarang dialaminya adalah berdasarkan pesanan dari Amerika.

Tetapi bukan Amerika namanya jika hanya menyandarkan kepentingannya kepada satu agen saja. Begitulah, sejak awal dan sampai sekarang, AS selalu menjadikan proposal “good governance” dan “clean government” untuk mencari agen-agen barunya. SBY memang loyal kepada Amerika, tetapi banyak berkompromi dengan kepentingan konglomerat dan politisi yang dianggap korup di Indonesia.

Lihatlah bagaimana SBY lebih memilih melepas Sri Mulyani, ‘anak didik’ terbaik AS di Indonesia, ketimbang membuang Aburizal Bakrie. SBY juga banyak melakukan kompromi politik dengan kekuatan politik lain untuk mengamankan kekuasannya hingga 2014. Dengan melakukan banyak sekali kompromi politik, maka SBY pun harus memberikan konsesi kepada sekutu-sekutunya tersebut.

Oleh karena itu, sangat mudah bagi kita untuk memahami bagaimana politik standar ganda dijalankan AS kepada boneka-bonekanya: di satu sisi, memeluk SBY dan menjadikannya ikon demokratis di dunia, tetapi di sisi lain, juga memberi catatan-catatan buruk tentang angka korupsi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Tergulingnya Boneka Amerika

Pengalaman adalah guru terbaik. Mestinya SBY paham betul dengan ungkapan sederhana itu. Pengkhianatan Amerika terhadap para penguasa diktaktor yang awalnya mereka dukung diceritakan oleh seorang ‘ekonom perusak’ John Perkins melalui dua buah bukunya, “Confessions of an Economic Hit Man” dan “The Secret History of The America Empire; Economic Hit Men, Jakals and The Truth about Global Coruption”. Perkins menceritakan Amerika tak segan-segan menghabisi para penguasa yang dinilainya sudah tidak lagi memberikan kemanfaatan bagi mereka atau yang melawan kepentingan mereka.

Dalam dokumen berjudul “The West’s Weapons of Mass Destruction and Colonialist Foreign Policy; The Assesment of The Muslim Community in Britain”, disebutkan bahwa Amerika dan Barat adalah aktor di belakang naiknya sejumlah penguasa diktaktor sekaligus aktor yang menurunkan para penguasa itu. Sebutlah misalnya mantan Presiden Pakistan Pervez Musharraf, mantan Presiden Indonesia Jenderal Soeharto, mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos, mantan Presiden Pakistan Jenderal Zia ul Haq, mantan Presiden Chili Jenderal Augustine Pinochet, mantan shah Iran Reza Pahlavi dan mantan Presiden Irak Saddam Hussein. Masih ada sederetan nama lainnya.

Dokumen itu pada akhir Februari lalu diperkuat laporan situs Al-Jazeera Arab. Dalam laporannya Al Jazeera menerbitkan sebuah artikel yang menuliskan daftar mantan sekutu Washington yang dihargai ketika berkuasa tetapi dibuang setelah pemecatan mereka.

Artikel itu menyebutkan nama mantan Shah Iran, Mohammad Reza Pahlevi, sebagai contoh eksplisit pengkhianatan Amerika pada diktator tersebut. Mantan Presiden AS Jimmy Carter, pernah menggambarkan Iran sebagai "sebuah pulau dengan stabilitas" di bawah Shah, tetapi ia kemudian berbalik meninggalkan dukungan untuk monarki tersebut. AS bahkan menolak Pahlevi masuk untuk melakukan perawatan kanker setelah ia kehilangan kekuasaan pasca pemberontakan rakyat Iran tahun 1979.

Penguasa satu hari dari Filipina, Ferdinand Marcos, yang telah dibawa ke tampuk kekuasaan oleh AS pada tahun 1965, membalas budi tersebut dengan menjadikan negaranya sebagai wakil dari Amerika Serikat di Asia Tenggara. Tetapi hal ini tidak mampu menyelamatkannya dari Revolusi Kekuatan Rakyat yang dipimpin oleh Corazon Aquino.

Setelah revolusi 1986 Sudan, diktator Jafaar Nimeiri juga ditolak untuk mendapatkan suaka politik ke Amerika Serikat. Sudan di bawah pemerintahan Nimeiri diduga memungkinkan Amerika untuk menguburkan limbah nuklirnya di negara Afrika tersebut dan membantu orang-orang Yahudi bermigrasi dari Ethiopia ke wilayah Palestina yang diduduki.

Mantan penguasa Panama Manuel Noriega, saat ini dipenjarakan di Perancis, juga membantu memperkuat kontrol Amerika atas negaranya dan Terusan Panama. Tetapi Washington kemudian menyingkirkan apa yang dianggap sebagai beban dengan mengirimkan sebuah unit militer ke Panama untuk menahannya dan menyerahkan Noriega ke pejabat penjara AS.

Pada tahun 2008, mantan Presiden AS George W. Bush meninggalkan dukungan bagi sekutu dekat Asia-nya, mantan Presiden Pakistan Pervez Musharraf, sementara oposisi tumbuh berkembang terhadap mantan jenderal yang telah memainkan peran penting dalam perang Bush yang disebut Perang Terhadap Teror (War on Terror).

Sementara baru-baru ini, diktator Tunisia Zine El Abidine Ben Ali telah berhadapan dengan nasib yang sama sementara berbagai media memberitakan bahwa AS menyarankan dan mengatur untuk mengakhiri pemerintahan diktator yang telah berjalan selama 23 tahun di negara ini.

Setelah pengusiran Ben Ali, mantan penguasa Mesir Hosni Mubarak harus mundur setelah jutaan rakyatnya melangsungkan aksi unjuk rasa selama 18 hari. Mubarak juga sekutu AS, mendukung kebijakan Washington terutama dalam hubungannya dengan Israel dan blokade atas Jalur Gaza. Atas jasanya itu, Amerika setiap tahunnya memberikan bantuan kepada Mesir sebesar 1,3 Milyar dollar.

Bayang-bayang Penggulingan Khaddafi

Kini ancaman yang sama sedang menghantui penguasa Libya, Muamar Khaddafi. Serangan Amerika dan NATO ke Libya diyakini dengan membawa misi penggulingan presiden berpangkat kolonel tersebut.

Hanya saja, menurut Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana, bila benar serangan koalisi untuk menggulingkan Khaddafi, koalisi telah mencampuri urusan dalam negeri Libya. “Jelas ini melanggar hukum internasional.”, kata Hikmahanto. Alasannya, Pasal 2 Ayat (7) Piagam PBB menegaskan prinsip nonintervensi. Belum lagi Resolusi 1973 yang dalam konsideransnya menegaskan: resolusi diterbitkan dengan memerhatikan kedaulatan, keutuhan, dan persatuan Libya.

Isu lain selain penggulingan Khaddafi adalah penguasaan minyak. Menurut Hikmahanto, isu ini mencuat sebab krisis di Libya melejitkan harga minyak, yang tentu berakibat pada perekonomian negara koalisi dan dunia. Ada pula rencana Khadafy menasionalisasi perusahaan minyak asal negara yang tergabung dalam koalisi. Lebih jauh ada yang menduga serangan dilakukan agar negara koalisi dapat mengendalikan harga minyak dan pasokan.

Selain Khaddafi, saat ini bayang-bayang pengkhianatan Amerika juga tengah menghantui Presiden Suriah, Bashar Al Assad, dan penguasa boneka AS di Timur Tengah lainnya.

SBY, sebagai sekutu AS di Asia Tenggara juga tak boleh merasa aman. Menurut bocoran WikiLeaks yang dikutip oleh surat kabar Australia The Age beberaapa waktu lalu, meski SBY menang besar dalam Pemilu 2009, karena kontroversi yang dilakukannya, menurut Kedubes AS di Jakarta, populeritasnya turun dengan sangat cepat. Kedubes mengatakan: SBY sedang menuju kelumpuhan. Apa artinya?.

Sepertinya memang tidak akan ada penguasa boneka yang bakal selamat dari pengkhianatan Amerika. Amerika akan terus menerus mengkhianati penguasa-penguasa buatannya. Sebab bagi Amerika, tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Yang ada adalah kepentingan yang abadi.

Maha Suci Allah yang telah menurunkan aturan yang mengharamkan seorang muslim berkawan dengan orang kafir, menjadikan mereka sebagai pelindung dan teman kepercayaan.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.”
(TQS Ali Imran [3]: 118)

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih Telah Berkunjung