
cadang melalui pasar gelap (black market) untuk mengatasi kesulitan suku
cadang akibat embargo dari Amerika Serikat.
Modus seperti itu juga direkomendasikan kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono untuk terus dilanjutkan jika AS tidak mencabut embargo alat
persenjataan terhadap Indonesia.
Pembelian suku cadang melalui pasar gelap itu terungkap dari dokumen milik
TNI AU yang diserahkan kepada Presiden Yudhoyono sebelum berangkat ke AS
guna lobi pencabutan embargo senjata beberapa waktu lalu.
Dalam dokumen yang salinannya sempat dibaca Bisnis itu, TNI AU juga
merekomendasikan agar cara pembelian melalui pasar gelap ini terus
dilanjutkan sebagai jalan keluar jika pemerintah AS berkeras tidak mau
mencabut embargo.
Dari dokumen tersebut, disebutkan konsekuensi dari pembelian melalui pasar
gelap adalah biaya yang ditanggung pemerintah menjadi jauh lebih besar,
karena harga suku cadang di pasar gelap lebih mahal.
Selain itu, TNI AU juga mendapatkan pasokan suku cadang F-16 dan F-15 dari
Malaysia dan Singapura yang menjual secara diam-diam karena jika diketahui
akan dilarang pemerintah AS.
Di Madiun, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengakui kondisi alat utama
sistem pertahanan (alutsista) TNI AU, khususnya di Pangkalan TNI AU (Lanud)
Iswahjudi, sangat memprihatinkan.
"Apalagi kalau hal ini dihadapkan dengan tugas pokok TNI AU untuk melindungi
wilayah udara nasional yang begitu luas, jelas ini tidak memadai," ujarnya
kemarin, seperti dikutip Antara.
Mengenai embargo suku cadang pesawat tempur TNI AU oleh AS, dia mengatakan
pihaknya telah melakukan berbagai upaya diplomasi, namun hasilnya baru akan
diketahui setelah Kongres AS memutuskannya pada Oktober mendatang.
Sementara itu, dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR di Jakarta kemarin,
Kepala Staf TNI AU Marsekal Djoko Suyanto mengungkapkan embargo dari AS
tidak hanya berlaku bagi pembelian suku cadang di negara itu saja, tapi juga
berdampak pada pembelian suku cadang dari negara lain.
"Saat ini ada engine F-16 yang sudah siap dikirim dari Korea, tapi hingga
sekarang belum dikirim karena mereka dilarang AS. Begitu juga ada engine F-5
kita dari Brasil tidak dapat dikirim karena dilarang AS," jelasnya.
KSAU menilai larangan tersebut tidak wajar karena dalam persepsinya engine
pesawat tidak termasuk dalam peralatan tempur yang dilarang
diperjual-belikan oleh AS.
"Kami menanggap engine pesawat tidak termasuk dalam lethal weapon yang
diembargo. Tapi mereka [AS] menyatakan hal tersebut juga termasuk [dalam
embargo]. Jika demikian sama saja dengan embargo terhadap seluruh pesawat,
tidak hanya lethal weapon semacam rudal dan bom," tutur Djoko.
Karena itu, untuk mengatasi embargo, ujarnya, TNI AU sudah memikirkan
pengadaan pesawat tempur pengganti dari Rusia, Polandia, Cekoslowakia,
India, China, Korea dan Eropa secara bertahap untuk mengurangi
ketergantungan dari AS.
Pada 2005 ini TNI AU telah mengajukan pembelian enam unit pesawat Sukhoi
27/30 melalui mekanisme kredit ekspor dengan nilai US$310 juta.
Pembelian bermasalah
Dalam raker tersebut, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Bintang
Reformasi (PBR) Ade Daud Nasution mengecam pembelian dan pengadaan peralatan
TNI AU yang menggunakan kredit ekspor tahun anggaran (TA) 2004.
"Kenapa pembelian dan pengadaan peralatan tidak langsung dari pabriknya?
Seperti Fortis Bank, itu hanya leasing, bukan pabrik. Lalu ada rencana
pembelian Sukhoi melalui bank di Inggris, padahal Sukhoi itu buatan Rusia,"
tegasnya.
Dalam program kredit ekspor TA 2004, TNI AU diketahui melakukan empat
kontrak dengan Fortis Bank, yaitu pengadaan dan instalasi peralatan operasi
Kosekhaudnas I senilai US$9 juta, Kosekhanudnas IV senilai US$9,4 juta,
pengadaan simulator heli Super Puma tahap I senilai US$12 juta dan Lanj Daan
Batch III helikopter NAS-332 Super Puma sebesar US$7 juta.
Total kredit ekspor TA 2004 tercatat US$134 juta dengan 12 kontrak yag
melibatkan Deutsch Bank, BNP Paribas Corporate Bank, China National
Precision Machinery, dan Delamore Investment Bank.
Sementara anggota Komisi I dari Fraksi PAN Djoko Susilo menegaskan terlalu
banyak lender (kreditor) dari Singapura dalam pengadaan peralatan TNI
melalui mekanisme kredit ekspor.
Menanggapi hal itu, KSAU Marsekal Djoko Suyanto mengungkapkan sudah ada
instruksi dari Menhan Juwono Sudarsono untuk tidak lagi melibatkan kreditor
dari Singapura.
"Alasanya Singapura bukan produsen pesawat tempur. Tapi memang kontrak yang
sudah ditandatangani tidak bisa dicabut karena nanti dampaknya pada hukum
perdata. Ke depan kita akan usahakan melakukan pembelian G to G sehingga
tidak lagi melibatkan pihak ketiga," katanya.
http://groups.yahoo.com/group/nasional-list/message/15817
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih Telah Berkunjung